LCII x BTA 2023

LCII was invited to become one of the official partners and two of the speakers for Build Tech in Asia – Singapore.

BuildTech Asia (BTA) is the leading platform for the building and construction industry in the Asia Pacific region that will transform Asia’s Built Environment, showcasing the latest smart solutions and productive technologies across the entire building life cycle.

The event aims to help industry players accelerate the adoption of digitalized solutions and smart technologies in the key segments of building materials, construction machineries, architectural finishes, facilities management, and productive technology.

BTA 2023 aims to help accelerate the adoption of automation & digitalization and achieve. sustainable construction industry.

Registration Link:
https://www.gevme.com/buildtech-asia-bta-2023-75726326/?promo=LCII_BTA23

Implementasi Last Planner System pada Tahap Commisioning dan Qualification

Studi yang dilakukan William Power, Derek Sinnott, dan Aidan Mullin (2020), yakni mengevaluasi implementasi Last Planner® System (LPS) di fase Komisioning dan Kualifikasi (C&Q). C&Q adalah fase yang terakhir dan paling kritis dari sebuah proyek. Namun, pentingnya fase ini seringkali dipandang sebelah mata. Hal tersebut dikarenakan nilai biaya yang dikeluarkan, umumnya, hanya sebesar 3-5% dari keseluruhan biaya proyek.

Tujuan inti dari fase C&Q adalah untuk menyediakan bukti terdokumentasi yang menunjukkan bahwa sistem bangunan telah dilaksanakan sesuai dengan prinsip Good Engineering Practice (GEP) dan User Requirements. Selain itu, C&Q berfungsi untuk menjamin bahwa sistem sesuai dengan persyaratan instalasi, beroperasi di seluruh rentang desain yang sesuai, spesifikasi desain yang disetujui, kode peraturan, dan dilaksanakan sesuai GEP saat ini.

Last Planner® System (LPS) bertujuan untuk menghilangkan pemborosan dan mengurangi variabilitas dengan menghasilkan alur kerja yang andal. Fungsi penting LPS adalah belajar dari kegagalan pelaksanaan komitmen tugas dan mengimplementasikan perbaikan untuk memastikan kegagalan serupa tidak akan terulang kembali. Data dan pembelajaran yang dihasilkan dari implementasi LPS harus digunakan untuk mengidentifikasi kelemahan dalam proses pelaksanaan proyek dan mengikuti analisis akar masalah. Tindakan perbaikan harus dilaksanakan untuk mempromosikan budaya continuous improvement.

 

Manfaat LPS dalam proses C&Q

Manajemen klien, Senior Leadership Team, pemimpin tim pelaksana, dan tim proyek menyatakan kepuasannya dengan struktur dan ketertiban fungsi LPS dibawa ke proses perencanaan. Hanya dengan mengukur PPC, proses perencanaan C&Q LPS mingguan membawa peningkatan stabilitas selama periode waktu implementasi LPS 40 minggu. C&Q ada dan berkontribusi pada sesi Pull Planning, Lookahead, dan Weekly Work Planning proyek. Peran tersebut meningkatkan visibilitas kapan C&Q yang sudah sesuai dapat diserahkan. Namun, sampai sekarang, visibilitas tersebut masih belum bisa didapatkan dan tim C&Q mengerjakan P6 Schedule yang tidak mencerminkan status proyek terkini.

Meskipun begitu, manfaat terbesar implementasi dari Last Planner System adalah pada rencana mingguan (Weekly Work Planning) dan evaluasi Reasons for Non-Completion (RNC) dari pekerjaan yang telah di komitmenkan yang memungkinkan identifikasi dan implementasi perbaikan. Temuan utama lainnya termasuk peningkatan pelaksanaan kolaborasi yang jelas dan tidak hanya jargon, peningkatan visibilitas alur kerja, peningkatan produktivitas yang dihasilkan, penyelarasan schedule, safety, minimalisir biaya, dan meningkatkan manfaat nilai tambah klien.

BuildTech Asia 2022 x Lean Construction Institute Indonesia

We support BuildTech Asia 2022 which is happening in Hybrid Format from 15 -17 March 2022. The International Building and Construction Technology trade event aims to help accelerate the adoption of digitalized solution and smart technologies as part of the industry transformation roadmap for the Built Environment sector.

 

#buildtechasia #builtenvironment  #construction

 

facebook: @buildtechforasia

linkedin: @buildtechasia

 

  • Website Link:

https://buildtechasia.com/

  • Registration Link:

https://www.gevme.com/buildtech-asia-2022-58202239/?promo=LCII_BTA22

 

BuildTech Asia (BTA) is the region’s premiere B2B trade event on Building and Construction Technology.

 

BTA 2022 aims to help accelerate the adoption of digitalized solution and smart technologies as part of the industry transformation roadmap for the Built Environment sector. Riding on the success of the last 2 digital series, BTA is coming back with a hybrid format (with physical and virtual format) from 15 – 17 March 2022 at the Singapore EXPO, Hall 3.

This 11th edition brings together 10,000 trade professionals to convene virtually and physically, to facilitate exchange of insights, knowledge and solutions to help Start, Scale and Sustain their transformation journey, focusing on the following key segments: Productive Technologies, Building Materials, Construction Machineries, Architectural Finishes, and Facilities Management.

Perjalanan Last Planner System

Akar dari Last Planner System ada sebelum istilah ‘Lean’ diciptakan oleh General Motor dan menjadi terkenal oleh buku The Machine that Changed the World. Peristiwa tersebut mempengaruhi cara berpikir dibalik Last Planner System termasuk kolaborasi seorang perwira militer di Asia Tenggara, prioritas seorang peternak ayam, dan pengaruh terhadap pergerakan jumlah manajemen yang berkualitas.
Glen Ballard sebagai pencetus pertama implementasi Last Planner System yang dalam pengembangannya bersama dengan adalah Greg Howell. Implementasi Last Planner System di dukung oleh banyak pihak, termasuk, Mike Casten, dan Lauri Koskela, yang berkontribusi untuk melakukan percobaan dan menginformasikan perkembangannya.

Pada tahun 1988 Glenn mengidentifikasi terkait pentingnya perencanaan (schedule) yang dapat diandalkan atau schedule yang tepat dan dapat diimplementasikan di lapangan sesuai dengan yang direncanakan. Beberapa tahun kemudian, pentingnya rencana (schedule)i yang dapat diandalkan dipercaya oleh mandor konstruksi yang dihubungkan dengan rencana kerja mingguan. Perencanaan pekerjaan mingguan, Penghitungan PPC (Percent Plan Complete), dan format pencarian akar masalah dan continuous improvement adalah hal yang berbeda dari Last Planner System dibandingkan dengan sistem penjadwalan sebelumnya. Tahun 1992 merupakan periode pengembangan yang dimulai dari proyek perluasan pabrik kapas di Corpus Christi, Texas, yang dilanjutkan dengan proyek senilai $1.2 miliar pada tahun 1995 di Venezuela. Dalam proyek terakhir, produktivitas meningkat begitu cepat sehingga kebutuhan akan tambahan pekerjaan menjadi tampak jelas. Dalam beberapa tahun berikutnya Phase Planning ditambahkan ke dalam Last Planner.

Sistem Perencana Terakhir yang merupakan pengendalian produksi konstruksi kini telah digunakan selama beberapa tahun. Terjadi banyak pembaruan yang terdiri dari proposal master planning dari saat proposal, phase planning dan weekly planning dengan komitmen yang baik, dan continuous improvement. Penekanan khusus ditempatkan pada hubungan antara penjadwalan dan kontrol produksi, dan juga pada teknik phase planning untuk menentukan kapan pekerjaan bisa lepas dari constraint atau hambatan yang merupakan fokus dari Last Planner.
Last Planner System atau Sistem Perencanaan Akhir dari Kontrol Produksi Konstruksi. Merupakan pengontrolan produksi yang dibutuhkan untuk mendukung pengerjaan target yang telah direncanakan, melakukan apa yang bisa diselesaikan sesuai dengan rencana, ketika itu menjadi tidak mungkin, dievaluasi hambatannya dan mencari langkah berikutnya agar dapat mengejar target yang ditetapkan.

MISSION BASED SUPPLY CHAIN

“If you can not describe what you are doing as a process, you do not know what you are doing” –Edwards Deming

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa jika kita mau mencapai hasil yang excellent terhadap target/tujuan yang telah ditetapkan, kita harus memastikan setiap bagian/fungsi/departemen berjalan dengan excellent pula. Atas dasar mindset ini, setiap fungsi berupaya untuk membuat bagiannya mempunyai kinerja yang brilliant. Kadangkala, ekstremnya mereka berupaya menghilangkan pengaruh-pengaruh yang bisa menghambat kinerja departemennya.

Dalam suatu organisasi, pasti terdiri atas beberapa departemen. Jika setiap departemen sudah menjalankan fungsi dengan excellent dengan pencapaian target yang brilliant tadi, apakah secara organisasi pasti menghasilkan kinerja yang excellent juga? Coba kita berikan ilustrasi. Departemen Produksi, diberikan KPI (Key Performance Indicators) = Zero Overtime. Departemen Produksi mencoba mencari tahu, faktor-fator apa yang menyebabkan terjadinya overtime. Setelah dianalisa, salah satu faktornya adalah order dari PPIC (Production Planning & Inventory Control) yang sering mendadak sehingga Produksi kesulitan mengatur karyawannya. Untuk mengatasi hal ini, Pruduction Mgr mengeluarkan arahan ke seluruh jajaran Produksi, “Jika ada order PPIC yang mendadak, kita tidak akan melayaninya”. Bener saja, KPI Overtime semakin lama-semakin membaik, bahkan beberapa bulan terakhir mencapai zero overtime. Di sisi yang lain, Departemen Sales berkali-kali komplin ke PPIC, mengatakan bahwa supply produk di pasar sering kosong sehingga konsumen mulai beralih ke produk lain.

 

Mengapa hal ini terjadi?

Konsumen mulai beralih ke produk lain karena produk perusahaan tidak tersedia di pasar karena PPIC tidak bisa memenuhi order dari Sales. Hal ini terjadi karena Order dari PPIC (yang mendadak) tidak dikerjakan oleh Dept Produksi.

Kineja yang brilliant di Departemen Produksi dibayar mahal dengan penurunan sales, yang pada akhirnya kinerja secara keseluruhan dari perusahaan mengalami penurunan.

Bagaimana memperbaiki kondisi ini?

Kinerja organisasi yang berbasis kepada fungsi harus mulai beralih ke berbasis tujuan (mission based). Langkah pertama, organisasi harus menetapkan tujuannya. Langkah kedua, menetapkan fungsi-fungsi mana/Departemen mana yang berkontribusi langsung ke tujuan utama organisasi. Langkah ketiga melakukan alignment tujuan setiap fungsi berdasarkan tujuan organisasi. Alignment ini sangat penting untuk memastikan setiap fungsi berkontribusi dan tidak saling bertentangan satu dengan yang lain. Langkah selanjutnya menentukan KPI organisasi dan KPI Departemen. KPI Departemen yang tidak sejalan dengan KPI Organisasi harus dihilangkan.

Dan yang tidak kalah pentingnya, melakukan aligment terhadap target setiap KPI. Target KPI setiap Departemen haruslah mendukung target KPI Organisasi. Contoh jika target Fulfillment Organisasi  = 97% maka target KPI Fulfillment untuk seluruh Departemen terkait minimal harus 97%.

Jika seluruh energi organisasi bersama-sama diarahkan ke tujuan organisasi (mission based), bukan hal yang sulit untuk mencapai kinerja supply chain yang excellent.

“Building a visionary company requires one percent vision and 99 percent alignment” –Jim Collins

YOUR BEHAVIOR IS YOUR SAFETY

Kecelakaan kerja yang sering terjadi dan menimpa manusia sebagian besar disebabkan karena dirinya sendiri, hal inilah yang menyebabkan factor perilaku menajdi sorotan utama dari tiap isu K3 di perusahaan. Oleh sebab itu program yang diterapkan untuk meningkatkan sistm K3 pun harus menyentuh faktor tersebut.

Behavior Based Safety (BBS) merupakan aplikasi sistematis dari riset psikologi tentang perilaku manusia pada masalah keselamatan (safety) di tempat kerja yang memasukkan proses umpan balik secara langsung maupun tidak langsung. Aspek perilaku manusia yang dapat menyebabkan kecelakaan lebih ditekankan pada sistem ini. BBS dan safety tradisional memiliki perbedaan yaitu BBS lebih fokus kepada menurunkan kebiasaan pekerja yang beresiko dan fokus pada pengamatan kebiasaan pekerja yaitu kebiasaan umum yang menempatkan pekerjaan pada suatu resiko yang tercatat lalu dilakukan perbaikan sedangkan Traditional Safety sifatnya reactive atau hanya fokus pada perbaikan atas apa yang telah terjadi dan meminimalkan kondisi tidak aman.

Hal penting yang harus diperhatikan sebelum melakukan implementasi BBS adalah :

  1. Merencanakan proses BBS
  2. Mengembangkan strategio implementasi
  3. Mengimplementasikan proses BBS
  4. Mengarahkan proses BBS

Pihak manajemen maupun pegawai pengawas memiliki tanggung jawab dalam pelaksanaan BBS ini, antara lain :

  1. Memahami prosesnya (mendapatkan training)
  2. Membuat BBS menjadi bagian pada pekerjaan
  3. Membantu mengidentifikasi dan memperbaiki kekurangan dalam sistem
  4. Menghilangkan batasan yang tidak perlu
  5. Memberikan :
  1. Dukungan waktu untuk training bagi komite BBS dan melaksanakan pertemuan
  2. Dukungan waktu untuk melakukan observasi
  3. Dukungan untuk mendorong dan menyediakan penguatan positif bagi pekerja, observer dan komite BBS

Apakah program dengan sasaran BBS itu efektif ??

Beberapa orang berpendapat bahwa untuk mengampanyekan BBS lebih efektif melalui meeting informal ataupun obrolan-obrolan ringan daripada meeting resmi atau acara kampanye atau workshop resmi. Apakah Anda setuju dan memiliki pengalaman serupa? Memang proses sosialisasi BBS itu sangat menantang karena hal ini sangat berkaitan dengan budaya disiplin dan di masyarakat negara kita masih cukup “baru” dengan safety culture ini dan diakui atau tidak diakui budaya disiplin di negara kita juga masih perlu banyak perbaikan. Namun jangan khawatir, perubahan budaya dan perilaku dapat terjadi melalui proses pembelajaran dan peningkatan awareness. Proses pembelajaran tersebut terjadi dengan baik bila proses pembelajaran tersebut menghasilkan perubahan perilaku yang relatif permanen.

Kesimpulannya, perilaku manusia sangat berkontribusi dalam performa K3 di tempat kerja. Karena itu program untuk meningkatkan Keselamatan Berbasis Perilaku (Behavior Based Safety) yang efektif harus diterapkan sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan performa K3 di tempat kerja.

PERUBAHAN BUDAYA MENUMBUHKAN ENGAGEMENT DISEMUA LINI

Tahap “Persiapan dan Perubahan budaya Lean Construction ini, perlu akan adanya perubahan paradigma lama ke Lean Construction. Misalnya, salah satunya adalah prinsip PUSH berubah ke PULL, manajemen “ PIMPINAN ”, berubah menjadi manajemen “PEMIMPIN”. Mirip tapi tak sama, karena semangat “PEMIMPIN” di setiap level fungsi, akan memunculkan ownership dan engagement yang lebih tinggi, yang akan berdampak pada komunikasi, kolaborasi, komitmenr dan empati yang tinggi. Kondisi ini akhirnya pasti berdampak pada kinerja yang tinggi di lapangan dan SOTOBOSOREMPAH bisa ditingkatkan.

 

Lalu kendalana apa untuk implementasi Lean Construction? Tidak ada kendalanya, selama ada komitmen dan paham bahwa merubah budaya bukan seperti membalikkan tangan. Artinya perlu dipahami bahwa yang kelihatannya kendala atau sulit tadi adalah bagian dari proses dan tahapan itu sendiri. Yang perlu disiapkan adalah kesadaran dan mau berpindah dari kuadran “tidak tahu dirinya tidak tahu“. Sebab, orang atau organisasi yang ada pada kuadran ini biasanya selalu resisten terhadap improvement dan hal baru, karena merasa paling tahu dan cenderung sok tahu. Diajak berpindah menuju kuadran “Tahu dirinya (ada yang tidak) Tahu” atau bahasa positifnya “Tahu bahwa diri atau organisasinya ada yangbisa dan perlu diimprove”, selalu ada dan mencari peluang untuk improvement dan mengacu pada prinsip PDCA (PlanDo Check Action).

 

Perubahan budaya perlu kerja sama semua pihak. Amerika, Jepang, Eropa dan terutama China terus melakukan improvement dan inovasi di semua proses konstruksi. Prestasi China mampu melakukan pembangunan hotel 30 lantai dalam 15 hari, perbaikan jembatan layang utama yang biasanya selesai 2 bulan bisa dilakukan hanya dalam 43 jam, dan masih banyak prestasi lain tidak lepas dari prinsip-prinsip Lean Construction. Jika prinsip-prinsip ini seperti leadership & respect for people, pembangunan budaya, komunikasi, kolaborasi, creative & inovative Problem solving, eliminasi 11 wastes, value stream, supply chain management dan prinsip-prinsip lain diterapkan di proyek konstruksi Indonesia, penulis yakin, peningkatan besar dalam efektifitas dan efisiensi suatu proyek pasti akan terjadi

MENTAL ROBOT MENJADI PROAKTIF DAN KREATIF

Ownership dari semua pelaksana di lapangan termasuk tukang, mandor dan subcont sebagai pelaksana proyek akan meningkatkan safety, mengejar target waktu , peningkatan kualitas. Hal ini sangat masuk akal karena selama engagement tinggi, pasti output akan maksimal. Kedua, Komunikasi, kolaborasi, dan komitmen serta empati antarsubcont, mandor dan main contractor akan jauh meningkat. Ketiga, Akan tercipta suasana yang all happy. Meskipun di banyak proyek, banyak subcont atau vendor yang teriak masalah pembayaran yang tertunda. Mereka merasakan happy karena koordinasi kerja dan komunikasi yang lebih baik dan lebih intens, sehingga rework atau waktu hilang karena menunggu bisa jauh diminimalisir.

 

Pernah penulis saat visit lapangan disalah satu proyek, kita lihat ada pekerjaan bongkaran yang dilakukan manual oleh sekitar 6 orang, sementara di sampingnya sekitar jarak 20 meter ada excavator yang nganggur. Waktu ditanya, kenapa dikerjakan manual? Excavatornya tidak bisa masuk area lokasi, karena ada bongkaran pile yang belum dilakukan. Padahal area lain yang tidak untuk jalan excavator, sudah lebih dulu dibongkar. Sudah berapa lama begini? Sudah berjalan 2 hari. Lho kenapa tidak disampaikan pada GSP? Sudah, tapi masih sama saja pak.

 

Nah ini salah satu contoh 1 dari 11 waste yang terjadi karena lemahnya komunikasi, kolaborasi, dan komitmen. Hal ini sering terjadi di lapangan, belum yang berdampak pada bongkar pasang. Dari waste yang terjadi karena waktu hilang 1-2 hari tapi berulang pada kejadian yang serupa. Kalua diakumulasi bisa membuat terlambat projek secara signifikan.

Dengan COMMET room, hal ini bisa sangat diminimalisir. Dengan COMMET Room khusus untuk disain yang dikembangkan LCII, waste yang terjadi bisa diminimalisir. Ditambah dengan aplikasi prinsip ALCQP (Advanced Lean Construction Quality Planning), dimana prinsip “Right First Time atau benar dari awal” diaplikasikan ke dalam format dan metode yang aplikatif.

Lho Bagaimana Bisa, Seorang Mandor Atau Wakil Mandor Yang Rata-Rata Edukasinya Terbatas, Diberi Peran Lebih?

Nah inilah bedanya dengan sistem konvensional, dan inilah mengapa Prof Ballard dan Prof Koskela mengadopsi metode Toyota Production System dengan filosofi Toyota Way yang sangat terkenal dan berhasil diimplementasikan di berbagai sektor industri.

 

Kalau sebelumnya Foreman, atau mandor hanya seperti robot menjalankan master schedule dan kemudian hanya menunggu saat ada masalah dengan subcont atau mandor lain yang belum selesai atau tumpang tindih saling tunggu, sekarang diubah cara pandang, konsep, dan budayanya. Mandor dikondisikan untuk proaktif dan terlibat dalam mencari solusi saat target tidak tercapai dan ada masalah terkait safety, quality, dan schedule. Budaya dan cara pandang Toyota inilah yang menginspirasi Prof Ballard dari Berkeley untuk mememperbaki produktifitas industri konstruksi, dan berhasil.

 

Dengan Commet Room, mandor dan subcont didorong lebih proaktif dan kreatif dalam mempercepat schedule, meningkatkan kualitas dan safety secara effisien. Alasannya, semua mandor dan subcont juga ingin efisien kerjanya, sehingga margin yang didapat menjadi lebih banyak.

Target Value Delivery

Banyak customer memahami kebutuhan mereka tetapi tidak ingin tahu hal yang seperti apa yang dapat memenuhi kebutuhan itu bagi mereka. Bagi para pengelola bisnis, kurangnya pemahaman ini merupakan kesempatan untuk menunjukkan secara persuasif nilai dari apa yang mereka berikan dan untuk membantu customer membuat keputusan pembelian yang lebih cerdas.

 

Dalam bidang konstruksi sendiri hal-hal seperti itu bisa disebut dengan Target Value Delivery atau TDV. Target Value Delivery merupakan kedisiplinan manajemen yang diaplikasikan pada saat mendefinisikan project, merancang, merencanakan, konstruksi, komisi dan aktivasi untuk untuk menjamin bahwa fasilitas memenuhi kebutuhan aspek-aspek pengguna melalui budget yang telah disepakati, dan mempromosikan sebuah inovasi ke dalam proses untuk meningkatkan nilai pelaku bisnis itu sendiri.

 

Untuk dapat memahami pentingnya TVD, pertama-tama kita perlu memperhatikan biaya proyek dari beberapa metode penyampaian proyek. Salah satunya metode penyampaian project secara DBB yang mana sudah sangat sering kita temukan di berbagai negara. DBB atau Design-bid-build, juga dikenal sebagai Design-tender traditional method atau hard bid, yang merupakan metode penyampaian proyek di mana agensi atau pemilik kontrak dengan entitas dibuat terpisah antara desain dan konstruksi proyek. Dari segi biaya sendiri, metode penyampaian proyek DBB ini diperkirakan akan terus meningkat setiap waktu. Dengan adanya penerapan sistem Target Value Delivery diharapkan pelaku bisnis dapat menekan biaya konstruksi dan meminimalisir pengeluaran biaya yang tidak diperlukan sepanjang masa pembangunan.

 

Tanpa adanya pengaturan manajemen yang teratur atau diawasi, proyek cenderung meningkatkan biaya melalui tahap pelingkupan, desain, dan konstruksi. Target Value Delivery menawarkan strategi untuk mengelola biaya proyek melalui pengembangan dan konstruksinya. Menetapkan target biaya untuk sebuah tim dapat menyelaraskan pemikiran dan memotivasi anggota untuk berinovasi. Bagaimana target tersebut ditetapkan dan siapa yang terlibat dalam menetapkannya sama pentingnya dengan target apa yang sebenarnya ditetapkan dalam proyek. Melalui strategi yang difokuskan, proyek dapat mencapai ruang lingkup, jadwal, dan biaya yang diinginkan.

LinkedIn
LinkedIn
Share
WhatsApp